Retorika Internasional, Realita Lokal: Amnesty Bongkar Kontradiksi Pidato Presiden
Menurut Amnesty, kritik paling tajam diarahkan pada kegagalan Presiden mengakui dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat di dalam negeri. Dari tragedi 1965 hingga kekerasan di Papua, negara belum pernah secara tegas mengakui kesalahan apalagi menempuh jalur keadilan.
“Tidak ada pengakuan terhadap pelanggaran HAM pasca kemerdekaan. Sayangnya ini tidak terlihat dalam pidato Presiden,” kata Usman.
Amnesty menelaah bahwa saat Presiden bicara soal kesetaraan, kenyataannya diskriminasi terhadap minoritas masih marak. Amnesty mencatat sejak awal pemerintahan Prabowo, sudah terjadi 13 kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas agama.
“Kesetaraan yang digaungkan Prabowo dalam pidato belum tercermin dalam realita di Indonesia. Ini hanya retorika kosong,” lanjut Usman.
Begitu juga soal kebebasan berekspresi yang diklaim dijunjung tinggi oleh pemerintah. Padahal, kriminalisasi terhadap aktivis, pembubaran diskusi, dan pembatasan kebebasan akademik masih berlangsung.
“Presiden menegaskan pentingnya hak hidup, kebebasan, dan kesetaraan, tapi realitas di lapangan jauh dari itu,” tegas Amnesty.
Pidato Prabowo juga menyentuh soal kolonialisme. Namun Amnesty menilai ironi terjadi karena pemerintah justru memperlakukan Tanah Papua secara kolonial—dengan militerisasi, diskriminasi rasial, dan pengabaian hak masyarakat adat.
“Pemerintah terus menggodok proyek pembangunan di atas tanah milik masyarakat adat tanpa adanya partisipasi dari mereka,” ujar Usman, merujuk pada program food estate di Merauke.
Kritik pun diarahkan pada absennya pembahasan soal Papua dalam pidato. Amnesty menyebut, jika Presiden berani menyebut apartheid di luar negeri, seharusnya berani pula mengakui sistem ketidakadilan struktural di Papua.
“Jangan sampai, ibarat gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang samudra tampak jelas,” sindir Usman.
Pidato itu juga bertepatan dengan Hari Tani Nasional. Prabowo menyebut swasembada beras sebagai capaian besar, namun Amnesty mengingatkan bahwa konflik agraria belum terselesaikan. Ratusan ribu petani masih hidup di bawah bayang-bayang penggusuran, perampasan tanah, dan kriminalisasi.

Tinggalkan Balasan