FB IMG 1758715673503
Presiden Bicara Perdamaian di PBB, Tapi Bungkam soal Luka HAM di Negeri Sendiri. (Photo: Fb Prabowo Subianto)

JAKARTA, RAKYAT NEWS – Presiden Prabowo Subianto tampil percaya diri di podium Sidang Umum PBB ke-80, Selasa (23/9), disertai aksi gebrak meja, mantan Danjen Kopasus itu menyampaikan pidato dalam bahasa Inggris yang menyinggung isu-isu besar: kesetaraan, perdamaian, perubahan iklim, hingga kolonialisme.

Namun Amnesty International Indonesia menyebut pidato tersebut tak lebih dari retorika kosong—indah di kata, hampa di aksi.

“Retorika yang terdengar mulia itu berbanding terbalik dengan kebijakan luar dan dalam negeri dalam isu yang diangkat,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

Salah satu kritik utama Amnesty adalah bagaimana Presiden Prabowo menghindari penggunaan istilah “genosida” untuk menggambarkan situasi di Palestina.

Padahal, lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan Amnesty sendiri telah mengkonfirmasi bahwa tindakan Israel di Gaza memenuhi unsur genosida.

“Penggunaan kata ‘catastrophe’ oleh Presiden berpotensi mengaburkan tanggung jawab Israel atas genosida,” tegas Usman.

Indonesia, menurut telaah Amnesty, seharusnya lebih berani mendesak Israel membongkar permukiman ilegal, memutus relasi bisnis dengan perusahaan pendukung apartheid, dan menyuarakan penuh Advisory Opinion Mahkamah Internasional (ICJ) yang menyatakan pendudukan Israel ilegal. Alih-alih menjadi aktor moral global, pemerintah Indonesia justru masih bermain aman di level diplomasi.

Tak hanya soal Palestina, komitmen Indonesia terhadap keadilan internasional juga diragukan. Usman menyayangkan Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional tak lagi menjadi prioritas.

“Ratifikasi ICC masuk dalam empat kali RANHAM sejak 1998, tapi hilang dalam RANHAM kelima di era pemerintahan Jokowi,” ujarnya.
Ini membuktikan indikasi bahwa pidato soal supremasi hukum internasional tak tercermin dalam kebijakan nasional.

Menurut Amnesty, kritik paling tajam diarahkan pada kegagalan Presiden mengakui dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat di dalam negeri. Dari tragedi 1965 hingga kekerasan di Papua, negara belum pernah secara tegas mengakui kesalahan apalagi menempuh jalur keadilan.

“Tidak ada pengakuan terhadap pelanggaran HAM pasca kemerdekaan. Sayangnya ini tidak terlihat dalam pidato Presiden,” kata Usman.

Amnesty menelaah bahwa saat Presiden bicara soal kesetaraan, kenyataannya diskriminasi terhadap minoritas masih marak. Amnesty mencatat sejak awal pemerintahan Prabowo, sudah terjadi 13 kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas agama.

“Kesetaraan yang digaungkan Prabowo dalam pidato belum tercermin dalam realita di Indonesia. Ini hanya retorika kosong,” lanjut Usman.

Begitu juga soal kebebasan berekspresi yang diklaim dijunjung tinggi oleh pemerintah. Padahal, kriminalisasi terhadap aktivis, pembubaran diskusi, dan pembatasan kebebasan akademik masih berlangsung.

“Presiden menegaskan pentingnya hak hidup, kebebasan, dan kesetaraan, tapi realitas di lapangan jauh dari itu,” tegas Amnesty.

Pidato Prabowo juga menyentuh soal kolonialisme. Namun Amnesty menilai ironi terjadi karena pemerintah justru memperlakukan Tanah Papua secara kolonial—dengan militerisasi, diskriminasi rasial, dan pengabaian hak masyarakat adat.

“Pemerintah terus menggodok proyek pembangunan di atas tanah milik masyarakat adat tanpa adanya partisipasi dari mereka,” ujar Usman, merujuk pada program food estate di Merauke.

Kritik pun diarahkan pada absennya pembahasan soal Papua dalam pidato. Amnesty menyebut, jika Presiden berani menyebut apartheid di luar negeri, seharusnya berani pula mengakui sistem ketidakadilan struktural di Papua.

“Jangan sampai, ibarat gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang samudra tampak jelas,” sindir Usman.

Pidato itu juga bertepatan dengan Hari Tani Nasional. Prabowo menyebut swasembada beras sebagai capaian besar, namun Amnesty mengingatkan bahwa konflik agraria belum terselesaikan. Ratusan ribu petani masih hidup di bawah bayang-bayang penggusuran, perampasan tanah, dan kriminalisasi.

“Klaim swasembada itu harus dibarengi dengan penyelesaian konflik agraria,” kata Usman.

Amnesty menilai bahwa kredibilitas Indonesia tidak diukur dari seberapa lantang Presiden bicara di PBB, tapi dari seberapa konsisten pemerintah bertindak sesuai nilai-nilai yang diklaimnya.

“Pidato di PBB memang penting. Tapi kredibilitas Indonesia di mata dunia tidak ditentukan oleh pidato yang menggebu dan kata-kata indah, tapi tindakan nyata,” tutup Usman Hamid. (Uki)

 

YouTube player